Konseling
merupakan suatu bentuk kegiatan pemberian bantuan yang bersifat profesional. Dengan
demikian, pelaksanaannya perlu dilakukan oleh orang-orang yang terampil di
bidangnya, dan harus berdasar pada teori (Mc. Leod. 2006).
Dasar teoritis perlu
untuk semua jenis konseling yang efektif. Teori adalah dasar untuk melakukan
konseling yang baik. Teori membantu konselor untuk membedakan tingkah laku mana
yang normal-rasional dan mana yang abnormal-irrasional. Teori dalam konseling
juga membantu konselor untuk memahami penyebab tingkah laku serta sarana untuk
mengorganisasi apa yang didapat selama proses konseling (Lesmana, 2006).
Hansen, Stevic, dan
Warner (1983) mengatakan :
a. Teori
membantu konselor untuk mendapatkan unitas dan keterhubungan di antara
diversitas yang ada.
b. Teori
memaksa konselor untuk memeriksa hubungan-hubungan yang mungkin terlupakan bila
tidak dilihat berdasarkan teori.
c. Teori
memberikan konselor tuntunan operasional untuk bekerja dan membantu mereka
mengevaluasi perkembangan mereka sendiri sebagai profesional.
d. Teori
membantu konselor untuk memfokuskan pada data yang relevan dan menunjukkan apa
yang harus dilihat.
e. Teori
membantu konselor dalam membantu konseli melakukan modifikasi yang efektif dari
tingkah lakunya.
f. Teori
membantu konselor mengevaluasi pendekatan-pendekatan yang lama dan
yang baru terhadap proses konseling.
Sedangkan
Brammer, Abrego, dan Shostrom (1993) melihat fungsi teori sebagai berikut.
a. Teori
membantu menjelaskan apa yang terjadi di dalam suatu hubungan konseling.
b. Teori
membantu konselor dalam membuat prediksi, mengevaluasi, dan meningkatkan hasil
konseling.
c. Teori
memberi kerangka kerja untuk membuat observasi ilmiah tentang konseling.
d. Berteori
mendorong koherensi ide tentang konseling dan
mendorong produksi ide-ide baru.
e. Teori
konseling membantu memberi arti kepada observasi-observasi yang dibuat
konselor.
Tanpa
adanya teori, konselor akan bekerja secara sembarangan dengan cara trial and error. Akibatnya, proses
konseling akan menjadi tidak efektif dan bahkan merugikan. Teori mempunyai
pengaruh terhadap bagaimana konselor akan mengonseptualisasikan komunikasi
konseli, bagaimana hubungan interpersonal akan berkembang, bagaimana penerapan
etika profesi dan bagaimana konselor
memandang dirinya sebagai profesional.
Salah
satu teori yang mendasari konseling adalah teori tentang komunikasi dalam
pelaksanaan konseling. Konseling tidak sama artinya dengan berbagi cerita atau
curhat. Semua yang ada dalam konseling diatur secara sistematis berdasarkan
langkah-langkah tertentu, begitu pula komunikasi yang terjalin dalam konseling.
Komunikasi
yang terjalin dalam konseling adalah komunikasi interpersonal, yaitu suatu
komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih. Suatu komunikasi
interpersonal yang efektif ditandai dengan adanya hubungan interpersonal yang
efektif pula. Untuk dapat menghasilkan suatu konseling yang baik dan normal,
salah satu syarat utamanya adalah konselor harus mampu meningkatkan hubungan
interpersonal, sebagai salah satu unsur dari komunikasi interpersonal tersebut.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi berhasil atau tidaknya komunikasi
interpersonal yang dilakukan dalam konseling (Lesmana, 2006).
Kepercayaan
konseli (trust) merupakan faktor yang
pertama. Ketika konseli memiliki perasaan bahwa dirinya tidak akan dirugikan, tidak akan
dikhianati, tidak akan dipersalahkan, maka kemungkinan besar konseli akan lebih mudah untuk membuka dirinya.
Menurut
Lesmana (2006) kepercayaan konseli (trust)
itu sendiri bisa diperoleh setelah hal-hal berikut ini ditemukan dalam diri
konselor.
a.
Konselor
memiliki pengalaman dalam melakukan konseling, bisa diandalkan dalam membantu
konseli, jujur, dan konsisten.
b.
Konselor mampu
menunjukkan kekuasaan atau kepemimpinannya kepada konseli.
c.
Kualitas
komunikasi antara konselor dan konseli menggambarkan adanya keterbukaan antar
keduanya. Sehingga maksud dari komunikasi tersebut jelas, harapan pelaksanaan
konseling digambarkan dengan tegas, tidak ada sesuatu yang ditutup-tutupi.
Perilaku
mendukung merupakan faktor keberhasilan komunikasi yang kedua. Lesmana (2006)
menjelaskan bahwa perilaku mendukung bisa dimunculkan oleh konselor kepada
konselinya dengan cara sebagai berikut.
a. Konselor tidak memberikan kecaman atas kelemahan dan kekurangan konseli,
akan tetapi melakukan evaluasi dan deskripsi atas apa yang dialami dan
dilakukan oleh konseli.
b. Konselor bersedia untuk mengkomunikasikan keinginan untuk bekerjasama
mencari pemecahan masalah bagi konseli, menetapkan tujuan konseling dan
berusaha untuk bersama-sama menentukan cara untuk mencapai tujuan tersebut.
c. Konselor menunjukkan kejujuran.
d. Konselor bisa berempati pada konseli.
e. Konselor tidak mempertegas perbedaan antara dirinya dengan konseli
ataupun antara konseli dengan individu yang lain, konselor tidak memandang
konseli berdasarkan status yang berbeda, memberikan penghargaan terhadap
perbedaan pandangan dan keyakinan antara dirinya dan konseli, serta menjunjung
tinggi persamaan.
f. Konselor bersedia dan tidak malu meninjau kembali pendapatnya sendiri.
Sikap
terbuka baik dari konselor maupun konseli merupakan faktor ketiga yang menjadi
penyebab keberhasilan komunikasi dalam konseling (Lesmana, 2006). Konselor
harus mampu melakukan penilaian secara objektif, mampu melakukan pembedaan
dengan mudah atas apa yang diungkapkan oleh konseli, mampu mencari informasi
dari berbagai sumber, dan profesional.
Konseli
juga harus dapat membuka dirinya kepada konselor, supaya proses konseling bisa
berjalan baik. Dalam hal ini tugas konselorlah untuk membantu konseli membuka
dirinya, sehingga tidak ada lagi sesuatu yang ditutup-tutupi dalam konseling.
Keadaan
seperti yang digambarkan di atas dapat terjadi ketika seorang konselor memiliki
keterampilan dasar komunikasi yang baik. Kompetensi komunikasi merupakan
sebagian dari kompetensi intelektual yang harus dimiliki oleh konselor, dan
merupakan kunci penting keberhasilan dari suatu proses konseling.
Karakteristik
keterampilan dasar komunikasi yang dapat membantu mendorong keberhasilan proses
konseling menurut Johnson (dalam Supratiknya 1995:11) adalah sebagai berikut.
a.
Kemampuan untuk
menyampaikan pikiran dan perasaan.
b.
Kemampuan untuk
memahami orang lain.
c.
Kemampuan
memberikan dukungan kepada orang lain.
d.
Kemampuan
mengungkapkan diri.
Konselor yang efektif harus memiliki
keterampilan dasar komunikasi yang disebutkan di atas untuk bisa menciptakan
hubungan konseling yang efektif. Tentu saja hal ini tidak bisa langsung terjadi
begitu saja. Keterampilan dasar komunikasi sebagai salah satu kompetensi
intelektual perlu dilatih dan dididik sedemikian rupa, sehingga bisa membentuk
pribadi konselor menjadi pribadi yang berkualitas dan kompeten dalam
menyelenggarakan layanan konseling.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar